”Bapak-bapak dan Ibu-ibu, kami tidak meminta uang,”
kata seorang mahasiswa di atas bus kota PPD 504 jurusan
Grogol-Pulogadung. ”Kami hanya mau berbagi informasi soal harga BBM,”
ujarnya sambil berdiri di depan penumpang yang kelihatan bingung melihat
ulah mahasiswa itu.
"Biaya produksi BBM premium sekitar Rp 10.000 per liter. Dijual saat
ini Rp 4.500 per liter. Itu artinya, pemerintah memberikan subsidi
sekitar Rp 5.000 per liter,” ujarnya berhenti sejenak.
”Jika Bapak dan Ibu punya motor dan diisi 3 liter premium,
artinya Bapak dan Ibu hanya mendapatkan subsidi dari negara Rp 15.000,”
kata mahasiswa berjaket almamater yang memperkenalkan dirinya bernama
Ahmad Rachman. Ia didampingi dua rekannya yang juga berdiri di depan
para penumpang.
”Namun, bagi pemilik mobil, kapasitas tangkinya 35 liter. Berarti
mereka mendapatkan subsidi dari negara minimal Rp 150.000 sekali
mengisi bensin,” ujarnya sambil menatap mata penumpang yang mulai
tertarik pada orasinya.
”Bayangkan jika dalam sebulan empat kali mengisi bensin, berarti
pemilik mobil mendapatkan subsidi Rp 600.000. Setahun mereka dapat
subsidi dari negara paling sedikit Rp 7,2 juta!” ujarnya setengah
berteriak yang mengagetkan penumpang.
”Tapi, Bapak dan Ibu yang memakai sepeda motor hanya mendapatkan
subsidi Rp 60.000 sebulan atau Rp 720.000 setahun. Inilah ketidakadilan
di negeri kita,” ujarnya sambil terus berorasi meyakinkan penumpang.
Entah paham atau tidak, mahasiswa itu terus berorasi soal ketidakadilan
dan kesenjangan yang terjadi di negeri ini.
Sejumlah sikap
Menanggapi rencana kenaikan harga BBM, ulah mahasiswa dan
masyarakat memang sangat beragam. Di sejumlah kota terjadi unjuk rasa,
dan beberapa cenderung anarkistis.
”Kami terpaksa berbicara di atas bus kota karena kami berbeda pendapat dengan teman- teman lain,” kata Ahmad memberikan alasan.
Adu
argumentasi dengan teman sekampusnya di kawasan Grogol, Jakarta, sudah
dilakukan, tetapi tak mencapai titik temu. Karena itulah dia melakukan
aksi orasi di atas bus kota untuk mengedukasi masyarakat. Ia menyatakan
tak mendukung pemerintah yang sangat mengutamakan pencitraan, tetapi tak
peduli pada nasib rakyat kecil walaupun pemerintah akan menyalurkan
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) Rp 150.000 sebulan selama
empat bulan.
Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia, Ida Ruwaida Noor,
juga melihat penyaluran BLSM untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM
harus diwaspadai penerapannya karena berpotensi menimbulkan gesekan di
masyarakat, apalagi jika data penerimanya tak akurat.
Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito,
juga mengingatkan, BLSM yang hanya Rp 150.000 sebulan tak akan banyak
membantu masyarakat miskin. ”Kenaikan harga barangnya lebih tinggi dari
itu,” kata Arie.
Beberapa warga juga menyatakan hal sama. Marsigit (27), pekerja
pabrik di Bekasi, Jawa Barat, mengatakan, kenaikan harga BBM akan memicu
kenaikan harga sejumlah barang.
”Kalau harga BBM naik pasti harga barang naik, ongkos angkutan
umum juga naik,” tutur Marsigit yang berencana mengendarai sepeda saat
berangkat kerja untuk menghemat pengeluaran setelah harga BBM naik.
Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Sonny Harry B Harmadi mengingatkan, kenaikan harga BBM akan semakin
mendorong urbanisasi setelah Lebaran nanti. Ini disebabkan tingkat
konsumsi dan produksi masyarakat di pedesaan akan sangat terpengaruh.
”Jika pemerintah tidak memberikan bantuan untuk konsumsi,
kualitas masyarakat akan terpuruk, terutama masyarakat di desa-desa,”
katanya.
Sonny menambahkan, kenaikan harga BBM, terutama solar, secara
langsung memengaruhi kualitas hidup penduduk desa. Ketika kemampuan
produksi tertekan dan tidak dapat ditanggulangi, penduduk desa akan
datang ke kota. Adapun kepulangan penduduk desa yang berada di kota bisa
tertunda akibat kenaikan biaya transportasi.
”Polanya bisa berubah. Masyarakat menyiasati pengeluaran
transportasi dengan menggunakan sepeda motor. Masyarakat desa saat
urbanisasi ke kota juga berpotensi menggunakan sepeda motor,” ujarnya.
Berto (46), penjaga loket tiket PO Sinar Jaya di Terminal Kampung
Rambutan, mengatakan, untuk mengantisipasi penurunan penumpang, PO akan
bersaing dengan menawarkan harga tiket murah.
Apa pun dampak kenaikan harga BBM, faktanya subsidi untuk BBM
sebesar Rp 297 triliun sangat tidak rasional. Sebagai perbandingan,
biaya pembangunan Jalan Tol Ngurah Rai- Benoa di Bali sepanjang 12,7
kilometer hanya Rp 2,4 triliun.
Bayangkan, berapa ratus kilometer jalan tol, rumah sakit, sekolah, atau
saluran irigasi yang bisa dibangun dengan dana subsidi BBM selama ini.
Berapa banyak fasilitas kampus yang bisa dibangun dengan dana sebesar
itu? Inilah bentuk ketidakadilan pemerintah yang diprotes sebagian
masyarakat selama ini.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !