Saya mengikuti Sunaryo yang menaiki tangga
baja melingkar menuju ruangan pengendali Pintu Outlet di Cipinang Besar
Selatan. Setelah pintu terbuka, tampak ruangan memanjang bercat dan
berlantai putih yang berisi panel-panel untuk mengoperasikan pintu air.
Dia
sudah bertugas sebagai penjaga pintu air ini sejak Kanal Banjir Timur
(KBT) resmi digunakan pada 2011. Dari deretan jendela di sepanjang
ruangan yang mirip lorong itu Sunaryo bisa memantau bentang lingkungan
hulu kanal.
Mulut saluran aliran keluar yang menuju Sungai
Cipinang itu mulai mendangkal dan penuh sampah. Dari anjungan pintu air
itu kami bisa menyaksikan aneka bungkus plastik mi instan, plastik
pembungkus belanja, hingga bak mandi plastik yang kandas tengkurap.
“Di Jakarta menghilangkan sampah itu sangat sulit,” kata Sunaryo. “Kesadaran orang-orang di sini sangat susah.”
“Orang
membuang sampah ke kali itu paling enak: Begitu dilempar sudah hilang,”
ujar Sunaryo dengan kesal. “Sedangkan mengangkatnya lebih susah.”
Imbauan
untuk tidak membuang sampah di sungai sekadar gembar-gembor. Tetap saja
sampah menumpuk di pintu airnya. Kalau kanal tidak dibersihkan selama
sebulan, alat ekskavator pun perlu turun mengangkut. “Kalau tenaga orang
saja kewalahan.”
Terdapat lima sungai yang aliran dan sampah
yang menyertainya ditampung oleh KBT. Dalam perjalanannya menuju muara,
sampah-sampah itu tersangkut di pintu-pintu outlet dan pintu bendung gerak.
Di
kesempatan berbeda, saya bertanya soal sampah kepada Mona Lohanda,
seorang peneliti sejarah Jakarta dan arsiparis di Arsip Nasional
Republik Indonesia. Mona mengisahkan sebuah plakat bertahun 1630 yang
berisi aturan yang dikenal sebagai negenuursbloemen—kalau diterjemahkan bebas artinya bunga-bunga jam sembilan.
Aturan
yang dibuat Dewan Hindia Belanda —di dalamnya termasuk Gubernur
Jenderal VOC— itu mengizinkan warga Kota Batavia untuk membuang sampah
ke kanal kota setelah pukul 21.00. “Kata 'negenuurbloemen' itu pemanisan
dari aturan membuang kotoran manusia dari rumah tangga di dalam tembok
kota,” ungkapnya.
Di dalam buku Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia,
Mona pernah menulis, “Sampah rumah tangga pun ikut dibuang ke kali,
karena aturan membuat dan menempatkan bak sampah di muka rumah baru
dikeluarkan pada pertengahan abad ke-19.”
Menurut Mona, aturan
tersebut terus berlaku lantaran kakus baru ditemukan di Eropa pada abad
ke-19 pula. Tampaknya aturan zaman VOC itu berlanjut ratusan tahun,
bahkan hingga hari ini.
Kini, Sunaryo boleh sedikit berlega.
Kampung di sekitar pintu airnya sudah mengusahakan untuk menunjuk
petugas pengumpulan dan pengangkutan sampah di setiap rumah. Namun,
tiba-tiba terlintas di benaknya tentang teman-temannya para petugas
kebersihan KBT. “Tetapi, kalau kanal bersih, lalu yang biasa bersihin
kanal kerjanya apa?”
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !